“Kerap saya diundang membuka lomba minat baca dan pameran perpustakaan oleh Dinas Perpustakaan atau oleh pihak lain. Saya menangkap kesan nuansa seremonialnya lebih kental daripada nuansa minat bacanya.” Demikian kata Longki suatu ketika.
Sosok yang mengidolakan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto dalam urusan kepustakaan ini, sejak menjadi juru bicara pemerintah tertarik membaca semua hal terkait reinventing goverment.
Ia memaknai teori administrasi dan manajemen pemerintahan itu sebagai pewirausahaan perangkat daerah. Ia berharap program pemerintah tak cuma memikirkan penyerapan anggaran tapi bagaimana program itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik, efektif dan tidak boros.
Longki melihat, sebagai orang yang masih menyempatkan diri membaca di sela-sela rutinitas kedinasan dan pribadi, menurunnya minat membaca buku di kalangan generasi muda. Begitu berkembangnya gawai pintar dan teknologi informasi yang memudahkan akses ke jejaring dunia maya dan media sosial turut berpengaruh. Belum lagi serbuan film televisi dan sinema elektronik di layar-layar kaca kita.
“Sehingga tak perlu heran, generasi bangsa kita akan lebih hafal nama aktris dan aktor pemeran film dan sinetron daripada tokoh sejarah atau bahkan kisah sejarah yang membentuk bangsa kita hari ini,” kata dia.
Sosok family man ini bicara soal diktum lama; ”Perpustakaan adalah jantung peradaban.” Itu menurut dia, menunjukkan betapa pentingnya peran perpustakan. Dokumen-dokumen baik dalam bentuk digital maupun cetak, serta foto-foto dan video-video bernilai sejarah dapat disimpan dengan aman di Perpustakaan. Semua tersusun dan terdokumentasi dengan baik. Dengan begitu memudahkan pula banyak kalangan, mulai dari pelajar, guru, peneliti dan masyarakat umum mengakses materi-materi bermanfaat yang disimpan di Perpustakaan.
Hemat dia, selain kisah yang dituturkan dari generasi ke generasi dengan perpustakaan kita dapat menelusuri lebih dalam sejarah masa lalu lewat buku, lembaran dan manuskrip yang telah dituliskan oleh para pendahulu dalam rentang sejarah dan periode tertentu. Beragam dokumen itulah yang akan menuntut kita kepada masa lalu sebagai bangsa atas apa yang dijejaki saat ini, sehingga bisa membuka jalan masa depan yang lebih baik.
Soal itu dibuktikannya di Parigi Moutong, saat ia menjadi Bupati di sana. Sebuah perpustakaan yang tergolong maju dibangunnya. Bolehlah itu dibilang sebagai perpustakaan digital, karena bila kita ke sana, sejarah negeri ini tak cuma bisa kita baca di buku tapi kita tonton lewat slide dan mikro film.
Ada banyak kutipan soal pentingnya membaca, salah satu yang sempat dicatatnya; Reading the past, writing the future — Membaca masa lalu menulis masa depan. Dengan membaca kita mengenal masa lalu dan kemudian merencanakan bagaimana masa depan.
Ada pula yang mengatakan; “Sebaik-baiknya guru adalah buku, sedang buku adalah gudang ilmu. Sebaik-baiknya teman duduk adalah buku,” kata dia.
Olehnya, ia berpandangan, menumbuhkan minat baca harus kita mulai dari dari ruang keluarga kita. Membiasakan anak-anak kita membaca buku-buku bermanfaat, lebih penting tinimbang memberikan mereka gawai pintar lalu kemudian berselancar di dunia maya, menonton youtube dan bermain game.
Sarannya; Beri mereka list, berapa buku yang mereka baca setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan. Kita beri reward bila mereka memenuhi target yang kita tentukan, misalnya satu buku, dua buku atau lebih dari itu.
“Insya Allah, upaya kita mendidik generasi bangsa menyintai buku akan berhasil guna,” tutup dia pada sebuah perbincangan mengenai buku. ***
No Comments
Leave a comment Cancel